Kamis, 24 April 2008

Belanja bulanan yang tidak "hijau"

Siang ini sebelum pulang aku mampir ke sebuah hipermarket, karena ada beberapa kebutuhan harian yang hampir habis. Aku sudah mulai terbiasa dengan membawa tas kain untuk membawa belanjaanku. Ada sedikit kebanggaan muncul di dadaku ketika aku menolak tas plastik yang disediakan oleh kasir. "Aku hijau"


Hari ini aku tidak membeli tisu lagi. Sebagai gantinya aku membeli handuk katun agak banyak. Selain untuk kugunakan sendiri, juga untuk diletakkan di kamar praktek. Sedikit demi sedikit, aku mulai membiasakan pasienku untuk menggunakan handuk kecil yang kusediakan untuk mengeringkan mulutnya setelah berkumur.

Sedihnya, ternyata 70% barang belanjaanku adalah produk Unilever yang menurut Greenpeace merupakan perusahaan pengkonsumsi minyak sawit terbesar di dunia. Penggunaan minyak sawit dalam produk-produk kosmetik dan pembersih telah memicu kerusakan hutan tropis di Indonesia untuk memberi ruang bagi perkebunan kelapa sawit. Akibat yang langsung terlihat adalah rusaknya habitat orang utan dan tanah gambut di Kalimantan. Akibat jangka panjangnya adalah peningkatan suhu bumi.

Produk-produk Unilever yang kubeli memang merupakan bahan yang sehari-hari dipakai di rumah, mulai dari sabun pencuci piring, pelembut pakaian hingga sabun mandi, shampo. Demi kebersihan seisi rumah, tidak bisa tidak, bahan itu memang harus dibeli. Oyeeee....???

Kalau memang "hijau", sebetulnya mencuci tidak harus dengan deterjen, karena ada Rarak Soap Nut atau lerak yang bersahabat dengan lingkungan. Berbeda dengan deterjen yang menghasilkan air limbah yang sulit diuraikan, lerak tidak demikian. Kalau mencuci dilakukan tidak menggunakan deterjen, tentunya pelembut dan pewangi pakaian tidak diperlukan lagi. Karena yang menyebabkan kain menjadi kaku dan berbau apak adalah deterjen.

Bahkan lerak dapat juga dipakai untuk mandi. Lerak tidak menimbulkan efek licin pada kulit, jadi tidak memerlukan air terlalu banyak untuk membilasnya. Memang baunya asam, tetapi ini bisa diatasi dengan memberinya air jeruk purut atau minyak esensial.

Buah lerak ini sebetulnya bisa didapat di Jl. Kawi 10 di daerah Pasar Rumput, Manggarai. Pak Kosasih, pemilik usaha ini, mempekerjakan orang-orang tidak mampu, bisu-tuli untuk mengemas produknya.

Untuk pembersih lantai, sebetulnya ada ramuan multigunaEKD yang merupakan singkatan penciptanya : Ermina Komala Dara. Ramuan ini merupakan starter untuk membuat pupuk, pakan, bioherbisida, biopestisida, pembersih lantai, bahkan ramuan kecantikan (penghilang jerawat). Untuk penggunaan sebagai pembersih lantai, ramuan ini dicampur dengan air.

Jadi sebetulnya tidak perlu membeli produk-produk Unilever itu. Tapi kok susah ya untuk merubah gaya hidup praktis yang sudah berjalan puluhan tahun ini? Ternyata aku belum "hijau"

go green Indonesia!

Selasa, 22 April 2008

Penggunaan minyak goreng bukan perilaku "hijau"

Jumat yang lalu aku mengunjungi Green Festival di Parkir Timur Senayan. Sesuai dengan anjuran rekan di milis Greenlifestyle, aku pergi naik kendaraan umum, karena aku pergi sendiri dan tidak ada temen yang bisa "ditebengi". Aku tiba di sana sebelum festival resmi dibuka. Bahkan "es" yang kuinjak ketika memasuki ruang pamer belum mengeluarkan bunyi berderak seperti ketika aku keluar (Hehe.. aku berjalan melawan arus waktu pulang. Tapi tidak ada yang menegur karena pameran memang belum dibuka dan pengunjung belum ramai).

Gaya hidup "hijau", yang bersahabat dengan bumi, dipaparkan dalam bentuk pameran yang menarik. Di sana ditampilkan "rumah hijau" yang bisa diciptakan mulai dari halaman rumah, penghuni garasi, ruang keluarga, kamar tidur, dapur, sampai kamar mandi dan tempat sampah. Petunjuk-petunjuk praktis dipasang di setiap ruangan untuk membuat rumah menjadi "hijau". Sebagian besar sudah aku tahu dan diterapkan di rumah. Tapi membaca tulisan-tulisan di tiap ruangan di pameran itu menggelorakan semangatku kembali untuk bertahan di jalur "hijau".

Ada 1 hal baru yang baru terpikir olehku pada saat melihat Green Festival, yaitu penggunaan minyak goreng ternyata bukan perilaku "hijau". Dengan alasan minyak goreng terbuat dari kelapa sawit yang berasal dari perkebunan-perkebunan yang dibuat dengan cara membabat hutan.Kemudian proses pengolahan kelapa sawit hingga menjadi minyak goreng menyebabkan terlepasnya gas CO2, salah satu gas pembentuk efek rumah kaca yang menyebabkan peningkatan suhu bumi. Setelah menjadi minyak goreng dan digunakan setidaknya 3 kali, jelantah ternyata menjadi sampah yang merusak tanah.

Satu lagi alasan untuk tidak banyak mengkonsumsi gorengan, selain karena alasan kesehatan.

go green Indonesia!

Hari untuk menyembuhkan bumi yang sakit

Hari ini, 22 April 2008 adalah Hari Bumi. Tidak ada yang istimewa dibanding hari-hari biasanya. Berbeda dengan kemarin, banyak anak-anak sekolah berkostum istimewa untuk karnaval dalam rangka Hari Kartini. Belum lagi penampilan khusus para perempuan pengemudi busway, perempuan penyiar TV dan perempuan-perempuan lainnya. Di milis Greenlifestyle, ada posting seperti ini :

Kemarin, aku nggak sengaja mendengar percakapan ibu dan anak. Si anak
kayaknya baru pulang dari perayaan hari kartini di sekolah, jadi masih
imut banget pake baju bodo.
"Ma, besok Hari Bumi... enaknya pake baju apa ya?"
"Hari Bumi mah bukannya hari untuk pake baju yang aneh-aneh. Hari Bumi
itu hari untuk membantu menyembuhkan Ibu Bumi."
"Berarti harusnya setiap hari itu Hari Bumi dong... Masa' sakitnya
cuma besok aja? Omong-omong, Ibu Bumi udah tua banget ya?"



Ibu Bumi memang sudah sangat tua dan penuh sakit penyakit akibat perbuatan anak-anaknya yang menghisap ASI nya dengan rakus. Bukan hanya menghisap dan menyedot, tapi juga menggigit dan melubangi kelenjar penghasil ASI, sehingga ASI tidak mungkin lagi diproduksi. Tanpa mendengar rintihan kesakitan Ibu Bumi, anak-anaknya mencongkel mata, mencabuti setiap helai rambut, melukai kulit di hampir seluruh permukaan tubuh, kemudian meludahi, menyirami dengan asam yang menyakitkan dan mengotorinya dengan kotoran mereka sendiri.

Ada beberapa anaknya yang berusaha mengobati Ibu Bumi dengan memberikan tonik rambut, mengolesi salep penyembuh luka dan menaburkan bedak penghalus kulit. Tindakan yang hampir tidak ada artinya dibandingkan perbuatan anak-anak lainnya yang nakal.

Ibu Bumi sudah semakin tua dan renta. Tulang-tulangnya sudah banyak yang keropos. Matanya sudah tidak dapat melihat, bahkan tak mampu lagi mengeluarkan air mata. Paru-parunya sudah dijangkiti kanker. Hatinya sudah mengalami pengerasan. Ginjalnya sudah tidak berfungsi lagi. Nadinya berdenyut sangat lambat. Jantungnya sudah tidak mampu memompakan darah bersih dengan teratur. Entah sampai kapan Ibu Bumi akan terus bertahan...

go green Indonesia!

Kamis, 17 April 2008

"Jualan" bor tanah

Beberapa waktu yang lalu, Caroline dan beberapa temannya datang ke rumahku untuk melihat Lubang Resapan Biopori yang kubuat. Aku bersemangat sekali untuk memperlihatkan lubang-lubang dan menjelaskan fungsinya. Mereka rupanya memang berminat untuk membuat juga. Mereka telah menghubungi IPB (entah lewat jalur apa) untuk membeli bor tanah. Mereka dapat membelinya dengan harga Rp 125.000 / buah dengan pembelian minimal 50 buah. (Dulu, aku membelinya seharga Rp 185.000 + ongkos kirim) Selain itu, mereka juga akan mendapatkan pelatihan untuk pembuatan LRB. Jadi, saat ini mereka sedang berusaha mengumpulkan 50 calon pembeli bor tanah. Tanpa disuruh, aku langsung berpikir untuk ikut mencari calon pembeli. Dalam beberapa minggu, aku berhasil mengumpulkan 8 orang calon pembeli. Aku jadi makelar...???

Mungkin juga ke-8 orang itu memang berpikir aku ini makelar bor tanah. Ya ampun.... aku ini sebetulnya bukan orang yang berbakat jadi makelar. Berjualan saja tidak bisa! Kalau aku bersemangat mencari calon pembeli bor tanah, itu semata-mata agar makin banyak LRB yang dibuat. Demi keutuhan ciptaan yang sebetulnya sudah terlanjur tidak utuh. Sedih juga waktu ada yang bilang, dulu harganya Rp 90.000,-. Rasanya seperti tersirat tuduhan di dalamnya, bahwa aku mengambil keuntungan dari penjualan bor tanah itu.

Makelar bor tanah yang cari untung...?? Padahal aku hanya menyampaikan informasi,ada kesempatan untuk membeli bor tanah dan dapat pelatihan. Kalau tidak mau beli, ya sudah. Aku juga tidak bicara soal pembayaran ketika menyampaikan informasi itu. Kalau kemudian aku meminta beberapa orang untuk membayar dulu, itu semata-mata karena aku melihat di rumah Caroline sudah ada beberapa bor tanah yang didatangkan. Pengiriman bor rupanya dilakukan secara bertahap. Agar "pesananku" bisa langsung kudapat, aku langsung transfer uang sebesar 1 juta rupiah ke rekening Caroline. Tujuannya supaya pengiriman bor yang berikutnya menjadi bagianku, bagian teman-temanku. Setelah itu, baru aku minta beberapa teman untuk membayar dulu.

Sedihnya lagi... diantara beberapa teman yang membayar, ada yang cuma membayar Rp 120.000,-. Nangis lagi ah...

go green Indonesia!

Senin, 07 April 2008

Lubang Resapan Biopori di halaman rumahku

Beberapa bulan terakhir, volume sampah yang dihasilkan rumahku berkurang drastis. Mestinya iuran sampahku juga dikurangi ya?
Ini berkat LRB (lubang resapan biopori) yang aku buat di halaman rumah. Sementara ini ada 8 lubang. Kedalaman 80 - 100 cm adalah kedalaman yang optimal. Lebih dari itu tidak ada gunanya, karena oksigen sudah sangat tipis, jadi tidak memungkinkan bagi kehidupan. Di atas lubang aku taruh pot tanaman untuk mencegah orang terperosok. Juga mencegah kucing atau anjing ngodal-ngadul isi LRB. Semua sampah dapur (kulit buah, batang sayur yang tidak termakan, ampas kelapa, kulit telur, tulang ikan dan ayam.... pokoknya semua) aku masukkan ke dalam LRB. 1 lubang bisa menampung sampah dapur selama 4-5 hari. Tanpa campuran bahan apa-apa. Kira-kira 1,5 bulan semua lubang penuh.... eh, ternyata engga! Lubang pertama ternyata masih bisa menampung sampah lagi, karena sampah 1,5 bulan yang lalu sudah menyusut kira-kira tinggal 20%. Hasil dekomposisi sampah ini kupakai untuk memupuki tanaman-tanamanku.

Soal bau.... ya, pasti bau. Namanya sampah dapur. Tapi bau itu hanya muncul waktu panen kompos. Selama sampah masih di dalam LRB, baru tidak keluar, terserap oleh tanah. Mungkin juga karena panen dilakukan waktu masih musim penghujan. Sampah dalam LRB bercampur air, jadi bau. Bau hanya muncul waktu panen, karena dikeluarkan dari tanah. Tindakanku ini memang seperti menabur garam di air laut, hampir ga ada artinya, terlalu kecil. Mudah-mudahan postingku ini menggugah kesadaran pembaca tentang peran kita terhadap masa depan bumi kita. Kalau seluruh semua pembaca tertarik untuk membuat LRB di rumahnya, terus bisa menggugah tetangga-tetangganya... kenalan-kenalannya .... jadinya banyak juga. Pasti akan bermakna juga.

go green Indonesia!

Jumat, 04 April 2008

Biopori dan Lubang Resapan Biopori

BIOPORI adalah lubang-lubang kecil pada tanah yang terbentuk oleh aktivitas makhluk hidup dalam tanah, seperti pengakaran pohon, cacing tanah, rayap dan makhluk mikro lain. Lubang-lubang ini akan terisi oleh udara dan menjadi tempat berlalunya air. Hal ini membuat tanah subur dan meningkatkan daya serap tanah terhadap air. Makin banyak biopori, makin besar air yang dapat diserap tanah.

Makin banyaknya tanah di Jakarta yang ditutupi bangunan beton, maka daya tampung tanah terhadap air makin berkurang. Daya serap tanah Jakarta terhadap air nyaris tidak ada. Karena itu air hujan hampir seluruhnya mengalir ke laut, pakai antre lagi! Jadi banjir. Sedikit sekali yang menyerap ke tanah, karena itu jumlah air tanahpun makin menyusut. Akibatnya intrusi air laut ke air tanah Jakarta. Air sumur jadi payau bahkan asin.

Bila biopori dibuat lebih banyak, daya serap tanah Jakarta dapat ditingkatkan. Sehingga jumlah air yang mengalir di permukaan tanah berkurang. Bila semua rumah di Jakarta , mudah-mudahan banjir dapat dikurangi. Bagaimana cara menambah jumlah biopori?

Ada teknologi yang dikembangkan oleh Fakultas Pertanian IPB untuk meningkatkan jumlah biopori, yaitu dengan membuat Lubang Resapan Biopori (LRB). Lubang ini dapat dibuat di tanah, di dasar saluran yang semula digunakan untuk mengalirkan air hujan, bahkan di tempat yang sudah dicor semen. Lubang dibuat dengan diameter 10 cm sedalam 80 - 100 cm. Ada bor tanah yang dapat dioperasikan dengan mudah. Gambarnya terlampir. Untuk membuat 1 LRB dengan tenaga perempuan diperlukan waktu kira-kira 10-20 menit, tergantung kekerasan tanah.

LRB akan menampung air hujan, sehingga lebih banyak yang diserap tanah. LRB dapat diaktifkan dengan memasukkan sampah organik ke dalamnya. Sampah ini menjadi makanan bagi makhluk-makhluk dalam tanah sehingga tetap hidup. Sampah akan di-dekomposisi dan hasilnya adalah pupuk kompos. Dengan aktifnya makhluk hidup dalam tanah di sekitar LRB, maka jumlah biopori akan meningkat terus.
Dengan demikian LRB dan biopori bersama-sama akan meningkatkan daya serap tanah terhadap air.

Dengan memasukkan sampah ke dalam LRB, produk gas yang membentuk efek rumah kaca akan berkurang. Dengan demikian, selain bermanfaat mengurangi resiko banjir, pembuatan LRB ini mengurangi pemanasan global. Efek lainnya, jumlah genangan air juga berkurang. Hal ini secara tidak langsung akan mengurangi resiko penyebaran penyakit demam berdarah, malaria dan kaki gajah.

Lihat juga :
Biopori, teknologi tepat guna ramah lingkungan
Biopori menurut Om Wiki

Biopori dalam blog :
Biopori di halaman rumah
Diani Budiarto : Memperbanyak sumur biopori
Abusya : Biopori untuk bumi kita
Agastya Candrawan : Biopori, tips langkah kecil menyelamatkan bumi
Anak cucu : Biopori yang anti banjir
Anak cucu : Biopori
ALL ABOUT DINA : Dengan biopori, s'lamatkan Bandung dari...
Blog gue : Biopori
Biopori menopang kehidupan tanah
Biopori agaenst banjir kanal
Yagitudeh : Biopori
Sampah diolah menjadi berkah : Pengomposan anaerob berbau busuk
Hati beriman : Kecil lubangnya besar manfaat
Ikankoi : Mencegah banjir lewat lubang serapan biopori
John Herf : Biopori sebagai peresap air yang mengatasi banjir dan sampah
BROKENEARTH : Kamir R. Brata Penemu teknologi biopori
Marumpa : Ada kompos dan lubang biopori di musrenbang
For the beauty of this earth : Lubang biopori bisa cegah banjir
Wastumaya : Arsitek, pakailah biopori

go green Indonesia!