Rabu, 09 Desember 2009

Kulit pisang dan teman-temannya

KULIT PISANG DAN TEMAN-TEMANNYA

Kulit pisang mungkin salah satu jenis pengisi tempat sampah rumah tangga kita hari ini. Bersama batang dan akar bayam, bonggol jagung, tulang ayam, kulit ari bawang dan nasi basi sisa semalam, kantung plastik sampah sudah penuh. Kantung plastik kemudian diikat dengan rapi supaya tidak ada yang tercecer dan dibawa ke bak sampah di depan rumah. Selesai! Hari ini rumah sudah bersih dari sampah. Setelah itu adalah bagian petugas kebersihan.

Demikian cara berpikir kita selama ini. Dan kita merasa tidak ada masalah yang muncul setelah itu. Masalah hanya muncul satu kali dalam setahun, yaitu saat petugas kebersihan cuti lebaran. Sampah yang menumpuk di bak sampah mulai mengeluarkan bau tidak sedap. Eh… bukan satu kali….. rupanya ada masalah lain. Masalah gara-gara si Bleki, anjing tetangga mengorek-ngorek bak sampah. Duh! Sampah jadi berantakan di jalan!

Lalu bagaimana dengan hujan deras selama 15 menit yang menimbulkan banjir gara-gara saluran tersumbat sampah? Masih ingat tumpukan sampah di Leuwigajah yang longsor beberapa tahun yang lalu? Tentang penyakit gatal-gatal penduduk di sekitar TPA Bantar Gebang? Semuanya berawal dari sampah rumah tangga.

Mengeluarkan sampah dari rumah kita bukan berarti masalah sampah selesai. Beberapa masalah di atas hanyalah beberapa masalah sampah yang nyata. Masalah yang sebetulnya berawal dari masalah dari rumah kita. Artinya kalau kita bisa menyelesaikan masalah sampah sendiri di rumah, kita memperkecil munculnya masalah-masalah di atas.

70% sampah rumah tangga berasal dari dapur, yaitu kulit pisang dan teman-temannya. Sampah jenis ini tergolong sampah organik, artinya dapat hancur sendiri di alam. Yang termasuk sampah organik adalah kulit buah-buahan, batang sayur-mayur, tulang ayam, sapi dan daging lainnya, duri ikan, kulit udang, kulit telur, daun pembungkus makanan, juga sisa makanan basi. Pada prinsipnya, semua sisa bahan pangan digolongkan sebagai sampah organik.

Karena sifatnya yang dapat hancur sendiri di alam, kita dapat mengembalikannya sendiri ke alam, bukan membuangnya ke bak sampah. Dengan memasukkannya ke dalam lubang resapan biopori atau mengolahnya menjadi kompos dalam keranjang takakura, kita telah mengurangi 70% sampah kita. Artinya, kalau biasanya setiap hari kita menciptakan 1 kantong sampah, dengan mengolah sendiri sampah organik kita, sampah kita berkurang menjadi 1 kantong dalam 3 hari.

Selain mengurangi jumlah sampah, tindakan mengembalikan sampah organik ke alam akan memberikan dampak lain. Dengan tidak membiarkan sampah organik menumpuk di tempat terbuka, kita mengurangi pembuangan gas-gas karbondioksida, karbonmonoksida, nitrogen oksida dan metana ke udara yang menimbulkan efek rumah kaca pada bumi kita. Sebaliknya, unsur-unsur karbon dan nitrogen sebagai pembentuk gas-gas tadi akan terserap ke tanah dan memperkaya tanah dan menghidupkan makhluk-makhluk di dalam tanah. Dengan sendirinya tanah menjadi subur dan akan menghasilkan tanaman yang indah.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ibu Sud, pencipta banyak lagu-lagu anak yang indah dan edukatif, ada baiknya kita melupakan salah satu lagunya : KERANJANG SAMPAH

bila kumakan pisang tidak dengan kulitnya
kulit kulempar k’ranjang
k’ranjang apa namanya?
k’ranjang sampah namanya

agar anak-anak kita tidak lagi dibiasakan membuang kulit pisang ke keranjang sampah, tapi mengembalikannya ke bumi.

go green Indonesia!