Rabu, 27 Oktober 2010

Anilawati Nurwakhidin, calon guru yang jadi aktifis lingkungan

Jujur, tulisan bagus ini bukan karyaku. Tulislan ini adalah karya Mas Hadi di sini, disalin atas seijin pemiliknya. Mari belajar berdiet plastik dari hal-hal rutin.

Anil adalah salah satu teman lama saya semasa kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri pencetak calon guru di Bandung. Karena kecintaannya terhadap lingkungan, dan berkat dorongan dari hati untuk melakukan sesuatu untuk lingkungan, maka jadilah anil bekerja pada sebuah lembaga non profit peduli lingkungan bernama YPBB. Bersama YPBB, Anil berusaha untuk mengkampanyekan hidup organis dan berkontribusi untuk alam dengan cara tidak menambah beban sampah untuk bumi ini.

Beberapa hari yang lalu, saya kembali mengobrol dengan anil, dan topik obrolan kali ini adalah seputar minum jus dan sedotan.

Anda pasti pernah minum jus bukan? Entah di rumah, café, rumah makan, warung nasi, hingga warung pinggir jalan pasti anda pernah meminum jus. Bagaimanakah penyajian jus favorit anda? Pasti semuanya disajikan dalam gelas kemudian diberi sedotan, kan? Nah, kali ini obrolan saya dan anil adalah tentang meminum jus tanpa sedotan. Lho kok?

“Sok atuh, mau ngedongeng apa?” begitu lah jawaban Anil ketika saya menyebutkan bahwa saya ingin mengikuti lomba nokia green ambassador lagi untuk edisi maret.

Apa dong?

“mau gak, tentang kegiatan ngurangin sedotan?”

Boleh

“kalo selama ini beli jus, biasanya gimana penyajiannya”

pake gelas, dikasih sedotan

“kalo yang rada mipir-mipir pinggir jalan kumaha (gimana)? biasanya kan langsung dibungkus pakai plastik ya, gak enak kan kalau minum di pinggir jalan. Plus, malu kali ya nongkrongnya juga . atau yang sedikit kerenan, dibungkus pake gelas plastik yang ada tutupnya itu.” Anil mulai bercerita

“Nah, dulu banget sih, upaya buat ngurangin plastik, yang dilakukan adalah dengan cara mikir-mikir dulu kalau mau beli jus. Berhubung beli nya di pinggir jalan, ada dua pilihan yaitu: dibungkus atau, karena pengen kurangi (pemakaian) plastik, ya udah, nongkrong saja di warungnya si mamang penjual jus. Minta disajikan di gelas.Tapi masalahnya, para pedagang jaman sekarang kadang nggak mau repot dan agak nyusahin. Jadi karena dia nggak mau susah dan repot, dia sama sekali nggak punya stok gelas. Nah, kalau sudah begitu, aku memaksa mamangnya untuk pinjem gelas ke warung/kios sebelah, terserah dia lah, yang pasti kalau nggak dicariin gelas, mending nggak jadi beli. Dengan cara kayak gitu suka berhasil. Mungkin si mamangnya mikir daripada gak jadi beli, mending cari gelas saja.

“Nah itu cerita jaman dulu kala. Sekarang lain lagi” Anil bersemangat

Sekarang emang gimana Nil?

“Ke sini-sininya, aku terinspirasi salah satu temenku di YPBB. Nggak usah sebut nama ya, hehe. Temenku itu dulu seneng dan sering nongkrong atau makan di luar. Nah di acara nongkrong-nongkrong tersebut, dia bareng-bareng sama beberapa orang temennya yang kaya raya. Salah satu kebiasaan yang dia tularkan ke teman-temannya adalah: kalo pesen minuman, pasti dia bilang ke pelayan untuk nggak usah pakai sedotan. Awalnya, temen-temennya nggak peduli. Yang penting, makan bareng dan nongkrong-nongkrong. Tapi lama-lama, kebiasaan itu terbawa jadi semacam kebiasaan di tim nongkrong tersebut.

” Dari cerita dia, aku juga jadi tertular untuk mulai kurangi penggunaan sedotan. Yah, memang terdengar sepele sih. Cuma sedotan!!! Tapi minimal jika aku gak pake sedotan, kemungkinan menumpuknya sampah sedotan bisa berkurang. Sebab sampah sedotan itu tidak dapat dicuci atau digunakan kembali seperti halnya kresek. Seperti yang kita tau, kalo keresek boleh lah dipake ulang. Tapi sedotan pan, enggak ada yang dipake ulang. Bohong banget lah kalo ada yang sampe kayak gitu, secara nyucinya juga susah.”

Terus hubungannya sama kampanyemu apa?

“Jadi kalo kita aja bisa ngurangi sedotan, dan orang lain mau juga kurangi sedotan, harapannya berkuranglah satu jenis plastik yang harus menggunung di TPS, TPA, dll.”

Anil kemudian bertutur bahwa pada suatu kesempatan, dia bersama tim YPBB mengunjungi aceh untuk mengkampanyekan hidup organis dalam sebuah pelatihan lingkungan. Dia bercerita bahwa dia dan kawan-kawan YPBB berusaha untuk transfer nilai tentang pengurangan penggunaan sedotan ini. berdasarkan cerita Anil, dia berangkat ke aceh di akhir tahun 2009. Saat itu, dia dan kawan-kawan YPBB, jika makan di luar, selalu diantar oleh salah satu staff lokal aceh. Setiap makan itu, mereka selalu bilang untuk tidak menggunakan sedotan pada minumannya. Meskipun kadang tidak berhasil, namun Anil dkk cukup konsisten. Sang staf itu mungkin memperhatikan kebiasaan Anil dkk, karena menurut penuturan Anil, ketika kunjungan kedua ke aceh awal 2010 ini, sang staf tersebut sudah terbiasa untuk memesan minuman tanpa sedotan.

“Nah, mungkin kamu ngerasa cerita ini biasa-biasa aja kan? tapi buat ku sih, seneng. soalnya bisa mempengaruhi orang tanpa banyak cingcong. Hanya dengan nyontohin beberapa kali.” Anil berkomentar.

“Kita gak pernah cerita ke dia tentang bahaya plastik bla bla bla….” Tambahnya.

Transfer nilai yang dilakukan Anil dan kawan YPBB ternyata membuahkan hasil. Menularkan pengaruh dengan cara memberi contoh, dan ternyata itu efektif.

Selain tentang sedotan , ada pula obrolan tentang penggunaan kresek. Anil mengingatkan saya untuk tidak menggunakan kresek yang berlebihan karena pada akhirnya ketika kresek sudah menjadi sampah, akan sulit diurai oleh tanah. Butuh waktu ratusan tahun untuk mengurai satu jenis sampah plastik, dibutuhkan waktu penguraian hingga ratusan tahun. Menurut Anil, Sedotan dan kresek adalah sampah yang benar-benar dihasilkan karena kegiatan sesaat namun efeknya bisa sangat lama. Sekarang, saya sedang berusaha untuk mengikuti jejak Anil. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan kresek pada saat berbelanja.

Sekilas apa yang menjadi obrolan saya dan Anil, tampak sederhana. Tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap alam, jika anil dan beberapa temannya tidak menggunakan sedotan. Namun, ketika apa yang dilakukan Anil dan teman-temannya diikuti oleh seribu orang, maka akan ada seribu sedotan yang tidak menumpuk menjadi sampah hasil kegiatan sesaat kita.

Semoga apa yang dicontohkan Anil, menular juga terhadap kita. Sekali lagi, kepedulian terhadap lingkungan bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana seperti mengurangi penggunaan barang-barang dari plastik. Mengutip kata-kata Anil, ‘mungkin kamu ngerasa cerita ini biasa-biasa aja kan?’ tapi inilah upaya saya untuk menularkan apa yang sedang anil coba tularkan kepada saya. Semoga dengan menuliskan ini, saya jadi punya tanggung jawab lebih untuk mengurangi pemakaian plastik yang hanya akan menjadi sampah.

“Mendingan dikurangin dari awal lah. Daripada pas udah nyampah, bingung kudu diapain.” Begitu nasehat Anil menutup pembicaraan kami sore itu. (HS)

Kaki gunung man-angel, Maret 2010
go green Indonesia!

Senin, 25 Oktober 2010

Kata-kata bijak Warung Hijau - ibu bumi

Apa yang kita bakar saat ini, itulah yang kita hirup besok

Salah satu pesan yang dibawa oleh "Tur Asia Bebas Limbah Beracun" oleh kapal Greenpeace Rainbow Warrior II
go green Indonesia!

Menuju ZERO WASTE : kantong plastik kresek (KPK)

Sudah banyak yang tahu bahwa KPK lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kalau belum tahu, bisa bertanya kepada Mbah Google. Sudah banyak yang ke pasar atau ke supermarket atau ke toko membawa tas sendiri agar dapat membawa belanjaannya tanpa menggunakan KPK pemberian penjual. Tapi tidak sedikit juga orang yang sangat berbaik hati (atau justru tidak baik hati?) memberikan sesuatu kepada kita dalam bungkusan KPK. Atau kurang cepat menolak penjual memasukkan barang dagangannya ke dalam KPK (kebetulan belanjaannya ikan, jadi kalau KPK dikembalikan ke penjual, pasti akan dibuang). Lalu, mau diapakan KPK ini? Ya digunakan lagi.

Cuci dulu KPK seperlunya. Kalau kotoran bisa hilang hanya dengan air saja, kotoran tidak perlu menggunakan sabun. Tampung air pencuci agar dapat digunakan untuk menyiram tanaman. Kalau KPK berminyak atau berbau amis, cuci dengan air lerak. Dengan sedikit air, kotoran dan pembersihnya akan terlepas dari KPK. Airnya juga aman bila disiram ke tanaman, bahkan beberapa jenis hama tanaman akan mati. Lalu dijemur. Setelah kering, KPK dapat digunakan lagi.

Selama KPK belum berlubang, artinya masih bisa dipakai untuk membawa sesuatu yang basah. Kalau sudah berlubang kecil, artinya masih bisa dipakai untuk membawa sesuatu yang padat dengan ukuran yang tidak terlalu kecil tapi tidak terlalu berat sehingga dapat memperbesar robekan. Kalau sudah robek di beberapa bagian, dan tidak memungkinkan dipergunakan lagi sebagai tas barulah bisa dipakai sebagai kantong sampah (memangnya masih ada sampah di rumah?) Bagian yang berlubang diikat dulu dengan karet gelang, supaya sampah tidak berceceran.

Ini teori. Kenyataannya, aku sendiri merasa kesulitan menangani KPK di rumah. Aku selalu membawa tas sendiri saat berbelanja dan menolak KPK dari pedagang. Yang tidak mampu kulakukan adalah menolak KPK dari orang-orang yang memberikan oleh-oleh, buah tangan, atau apalah yang demi kesopanan, dikemas dalam KPK. Kebetulan ada banyak orang di sekeliling keluarga kami yang senang bermurah hati kepada kami. Ada yang punya ide, bagaimana cara menolak KPK seperti ini tanpa menyinggung pemberinya?

Penggunaan singkatan KPK di tulisan ini semata-mata untuk mempermudah penulisan bagiku saja, tanpa maksud merendahkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang lebih dulu ada dan tentu tidak sesuai dengan pernyataan dalam kalimat pertama dalam tulisan ini. Aku sama sekali tidak menolak keberadaan KPK yang sudah ada lebih dahulu itu.




go green Indonesia!

Jumat, 15 Oktober 2010

Menuju ZERO WASTE : tisu

Di samping plastik, tisu merupakan barang murah yang dianggap higienis dan praktis karena dapat dipakai dalam keadaan bersih dan setelah itu tinggal dibuang.

Tisu hampir selalu hadir dalam setiap kegiatan menyeka saat ini. Mulai dari kegiatan rutin pada pagi hari di kamar mandi hingga makan mi tek-tek di pinggir jalan. Saat menghapus keringat di kendaran umum hingga mengeringkan tangan di wastafel. Untuk membersihkan meja di kantor maupun menghilangkan noda minyak pada kompor di dapur. Masih banyak lagi. Bahkan ada iklan yang berani mengklaim tisu mampu menggoda burung untuk menjadikannya sebagai bahan pembuat sarangnya.

Padahal ada saputangan, handuk dan lap yang sama higienisnya yang telah digunakan jauh sebelum tisu dibuat. Semuanya dapat berulang kali dicuci dan dipakai ulang tanpa perlu meninggalkan jejak karbon terlalu banyak. Apalagi kalau mencucinya menggunakan lerak yang daya bersihnya tinggi dan mengandung antiseptik alamiah serta tidak memerlukan banyak air untuk membilasnya.

Saat bepergian ke luar rumah, hanya perlu menyisihkan sedikit ruang di dalam tas untuk meletakkan 2 lembar saputangan atau handuk kecil. Satu lembar untuk menggantikan beberapa lembar tisu yang di samping wastafel dan di meja makan restoran. Saputangan yang sama dapat dipakai juga untuk menghapus keringat dan airmata. Satu lagi untuk menggantikan puluhan sentimeter tisu di kamar kecil. Ruangan yang diperlukan tidak berbeda jauh dengan ruangan yang dipakai oleh sekantong tisu yang biasa dibawa di dalam tas.

Di dapur hanya diperlukan 2 cantelan untuk menggantungkan 2 lembar lap. Satu lembar lap untuk menggantikan ribuan lembar tisu yang biasa digunakan untuk mengeringkan perabotan makanan. Satu lagi untuk menggantikan ribuan lembar tisu yang biasa digunakan untuk menghilangkan noda dan lemak di kompor dan sekitarnya. Noda dan lemak sangat mudah dibersihkan dengan lap yang dibasahi dengan larutan lerak.

Aktivitas manusia yang memerlukan penyeka pada masa kini tidak berbeda jauh dibandingkan pada masa lalu. Masih adakah lagi fungsi tisu yang tidak bisa digantikan oleh saputangan, handuk dan lap? Mengingat pengorbanan yang diberikan oleh ibu bumi kita demi pembuatan tisu, mengapa tidak kembali saja menggunakan saputangan, handuk dan lap? Dan biarkan burung membuat sarangnya secara alamiah dengan bahan yang berasal dari alam tanpa perlu merusaknya.

Mengganti tisu dengan saputangan, handuk dan lap berarti tidak ada lagi sampah penyeka.
go green Indonesia!

Kamis, 14 Oktober 2010

Menuju ZERO WASTE : silica gel

Di dalam kemasan makanan kadangkala ditemukan bungkusan kecil yang berisi butiran-butiran silica gel. Biasanya makanan yang tidak terlalu kering, sehingga kelembabannya memungkinkan pertumbuhan jamur. Penggunaan silica gel dimaksudkan untuk menjaga kelembaban ruangan dalam kemasan makanan tanpa memengaruhi kandungan di dalam makanan.

Silica gel akan menjadi barang yang tidak berguna bila digabung dengan sampah lain. Karena itu pisahkan silica gel dan kemasan dengan sampah lain. Silica gel masih dapat digunakan berulang-ulang kali tanpa batas sebagai bahan penyerap air.


Silica gel yang mengandung air berwarna merah muda atau transparan. Bila dipanaskan, molekul air akan menguap, meninggalkan silica gel yang berubah warna menjadi biru. Semakin tua warna birunya, semakin sedikit kandungan airnya. Karena itu kumpulkan silica gel, kalau jumlahnya sudah banyak, sangrailah untuk menghilangkan kandungan airnya. Kalau belum cukup banyak, usaha mendaur ulang silica gel ini justru meninggalkan jejak karbon lebih banyak dibandingkan membuangnya ke tempat sampah!

Butiran-butiran silica gel ini dapat digunakan kembali. Masukkan ke dalam kantung kain, kemudian diikat. Letakkan kantung ini di toples kerupuk atau tempat kue, maka kerupuk atau kue didalamnya akan lebih awet. Atau masukkan ke dalam lemari baju, maka jamur tidak akan hidup di dalam lemari sehingga tidak akan timbul bau apak. Lemari baju tidak lagi memerlukan kamper atau pengharum sintetis yang bisa menimbulkan reaksi alergi.
go green Indonesia!