Jumat, 15 Januari 2010

TAKAKURA, SARANA BELAJAR TENTANG SAMPAH



Sudah 2 kali aku melakukan panen kompos dari keranjang Takakura-ku. Setelah beberapa bulan bergaul dengan Takakura, aku mendapat beberapa pelajaran tentang sampah. Berikut ini adalah kesaksianku mengolah sampah dengan keranjang Takakura.

Proses pembusukan

Proses pembusukan sampah dalam keranjang Takakura berlangsung cepat, karena bercampur dengan starter yang jumlahnya lebih banyak dibanding jumlah sampah. Bahan-bahan yang tidak terlalu keras seperti kulit pisang atau papaya dapat membusuk dalam 1 hari. Bahan-bahan lain yang lebih keras membusuk sekitar 2 sampai 3 hari setelah dimasukkan.

Yang menjadi petunjuk terjadinya proses pembusukan adalah udara yang terasa hangat di atas tumpukan sampah pada saat keranjang dibuka. Bila terlalu basah, biasanya tidak terasa hangat. Untuk mengatasinya cukup dengan menambahkan sekam atau serutan kayu ke dalam sampah. Untungnya, hingga saat ini aku masih bisa mendapatkan sekam gratis dari pedagang telur di pasar.

Karena berbentuk keranjang, lubang-lubang yang ada memungkinkan terjadinya sirkulasi udara yang baik di dalam keranjang. Banyak oksigen yang masuk, sehingga bakteri pembusuk yang hidup di dalamnya adalah bakteri aerob (bakteri yang hidup dalam lingkungan yang mengandung oksigen). Bakteri aerob tidak menimbulkan bau, sehingga sampah yang membusuk tidak mengeluarkan bau. Tidak cukup dengan mengandalkan lubang-lubang di keranjang, sampah di dalamnyapun harus diaduk-aduk setiap hari supaya udara dapat masuk ke bagian bawah.

Perawatan keranjang

Saat jumlah sampah yang dimasukkan ke dalam keranjang semakin banyak, kadangkala kelembaban sulit terkontrol, terutama di bagian bawah. Hal ini disebabkan karena sekop pangaduk tidak dapat mencapai dasar kardus, padahal salah satu sifat air adalah mencari tempat yang lebih rendah. Aku menyimpulkan , pada kondisi inilah bantalan sekam menjalankan perannya, yaitu menyerap tetesan air. Karena itu bantalan sekam tidak boleh tanggung-tanggung kepadatannya. Makin jarang isinya, makin cepat kardus harus diganti. Kalau bantalan sekam sudah jenuh air, maka air yang berwarna kecoklatan menetes ke bawah keranjang. Entah ada hubungannya atau tidak, pada saat yang bersamaan mulai banyak semut yang menghampiri keranjang. Selain itu, kardus yang dipakai untuk wadah sampah menjadi basah dan lama kelamaan hancur. Inilah tanda bagiku untuk memanen kompos dan mengganti kardus. Membiarkan kondisi seperti ini lebih lama lagi akan membuat keranjang Takakura tak ada bedanya dengan tempat sampah biasa yang menumpuk ketika tukang sampah libur beberapa hari.

Produk tambahan

Ada produk tambahan selain pupuk kompos yang dihasilkan dalam keranjang Takakura, yaitu belatung. Menurutku, hal ini tidak terhindarkan, karena lalat-lalat kecil dapat masuk melalui lubang-lubang keranjang. Selain itu, sampah sudah mengandung telur-telur serangga sebelum dimasukkan ke dalam keranjang. Panas yang ditimbulkan dalam proses pembusukan tidak cukup tinggi untuk mematikan belatung-belatung ini.
Karena berada di lumbung makanan, belatung-belatung ini dapat tumbuh menjadi sangat besar, hingga mencapai ukuran 1,5 cm atau 2 cm. Ada juga yang sudah bermetamorfosis menjadi lalat bongsor. Mungkin karena pertumbuhan yang tidak normal, untungnya, lalat-lalat ini tidak mampu terbang bahkan setelah berjalan beberapa sentimeter, langsung mati. Aku menyiasati belatung-belatung ini dengan cara memasukkan panenan kompos ke dalam kantung plastik dan mengikatnya erat-erat selama beberapa hari , sebelum dijemur. Akibatnya belatung-belatung menjadi teler dan mudah dimatikan, bahkan ada yang mati sendiri. Mayat-mayat belatung kucampurkan ke dalam pupuk dan menjadi sumber zat hara tersendiri bagi kompos.

Produk tambahan lain adalah gulma. Dulu aku mengira biji-biji melon akan membusuk dan mati bila dimasukkan ke dalam keranjang. Ternyata tidak. Begitu dipanen, sebagian kompos langsung kumasukkan ke dalam pot-pot adeniumku. Dalam beberapa hari, muncul kecambah-kecambah di pot-pot tersebut. Rupanya biji-biji melon itu masih hidup. Selanjutnya aku tidak lagi memasukkan biji melon dan biji buah lain ke dalam keranjang.

Tidak seperti yang ada di teori, keranjang Takakura di rumahku tidak bisa menunggu hingga 3 bulan untuk dipanen. Sekitar 2 bulan, keranjang sudah penuh atau kardus sudah hancur karena basah. Sebentar lagi aku akan melakukan panen kompos ketiga, sementara hasil panen yang lalu belum bisa disimpan di tempat yang rapat karena masih basah. Saat ini masih musim hujan, jarang ada kesempatan untuk menjemur kompos hingga benar-benar kering. Ada yang butuh kompos?


go green Indonesia!

DIET RENDAH KARBON

Sudah banyak orang mengenal istilah diet rendah kalori, diet rendah lemak , diet rendah gula maupun diet tinggi serat dan menjadikannya sebagai gaya hidup sehatnya. Semuanya merujuk pada pola makan sehat untuk menghindari penyakit-penyakit degeneratif. Bagaimana dengan diet rendah karbon? Mudah-mudahan tulisan ini memberi insipasi untuk memilih diet rendah karbon sebagai salah satu gaya hidup untuk menciptakan lingkungan sehat yang akan diwariskan kepada anak-cucu.

Berbeda dengan diet-diet yang disebut di awal tulisan ini, diet rendah karbon bukanlah diet yang dibuat dengan menghitung unsur-unsur nutrisi yang masuk ke dalam tubuh kita. Yang dihitung dalam diet rendah karbon adalah emisi gas rumah kaca yang kita hasilkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap karbon yang dikeluarkan menciptakan jejak karbon. Keberhasilan diet rendah karbon dilihat dari makin kecilnya jejak karbon yang kita buat. Umumnya, jejak karbon dihasilkan oleh semua proses yang menggunakan bahan bakar fosil. Termasuk di antaranya adalah bensin, solar, batubara, elpiji.

Hal sederhana yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah penggunaan alat transportasi. Hingga saat ini, seluruh kendaraan bermotor di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Pertimbangkan lebih dahulu rencana bepergian untuk menentukan perlu tidaknya membawa kendaraan bermotor. Ada pilihan-pilihan sarana transportasi lain selain membawa sendiri kendaraan bermotor. Berjalan kaki adalah salah satunya dan sama sekali tidak meninggalkan jejak karbon.
Hal sederhana lain adalah penggunaan listrik. Hampir 70% listrik di Indonesia masih bersumber dari bahan bakar fosil (batu bara dan minyak bumi). Karena itu penggunaan alat listrik yang bijaksana bukan hanya mengirit biaya bulanan, tapi juga mengurangi jejak karbon.

Bila dirunut lebih jauh, hampir seluruh proses hidup yang kita jalani meninggalkan jejak karbon. Mulai saja dari menu yang tersedia di meja makan. Nasi yang menjadi bahan pokok berasal dari pertanian, yang lokasinya bisa saja puluhan kilometer dari tempat kita tinggal dan untuk mengangkutnya memerlukan bahan bakar fosil. Pertanian memerlukan pupuk yang diproduksi oleh pabrik yang berlokasi puluhan kilometer juga. Diperlukan bahan bakar fosil untuk mengoperasikan pabrik pupuk dan mengangkut pupuk ke lokasi pertanian.

Demikian pula halnya proses produksi sayur mayur dan buah-buahan. Pilihan beras, sayur dan buah organik yang dihasilkan oleh pertanian yang berlokasi tidak jauh tentu mereduksi cukup banyak jejak karbon. Pertanian organik tidak tergantung pada keberadaan pabrik pupuk sintetis. Penggunaan beras, sayur dan buah lokal juga mengurangi jejak karbon karena tidak diperlukan alat transportasi yang mengangkutnya.
Bergeser sedikit, ke kamar mandi. Kebiasaan penggunaan pemanas air listrik maupun gas untuk mandi perlu dipikir ulang. Hidup di negara tropis sebetulnya telah membuat air cukup hangat untuk mandi orang sehat. Alangkah mubazirnya penggunaan pemanas air yang listriknya terus dalam posisi “stand-by”.

Masih di tempat yang sama, liriklah tempat tissue. Saat ini “toilet tissue” umumnya menjadi salah satu pengisi daftar belanja bulanan. Tissue terbuat dari bubur kertas yang dihasilkan dari batang-batang pohon yang ditebang. Deforestasi mengurangi daya serap karbon yang ada di udara, sementara emisi karbon terus meningkat. Jejak karbon tak terhapuskan. Penggunaan handuk berbahan katun yang dapat dicuci dan dipakai ulang tentu lebih bijaksana.

Kalau mau diteruskan, tulisan ini tentunya akan menjadi tulisan nyinyir yang seolah-olah menyesali modernitas. Bukan itu maksud tulisan ini dibuat, tapi untuk mengajak “berpikir global, bertindak lokal”. Hal-hal kecil yang menjadi pilihan kita sesungguhnya berpengaruh secara global bila dilakukan secara massal. Masalah global sekarang ini adalah peningkatan suhu rata-rata bumi. Mari bersama-sama melakukan hal-hal kecil dengan lebih bijak.

Kearifan suku Amungme di Papua Barat yang menjadikan tanah sebagai ibu kandung mereka bisa menjadi sumber inspirasi kita. Ibu Bumi saat ini sudah tua dan sedang sakit parah, nyaris sekarat. Seluruh sumber daya yang dikandungnya dieksploitasi anak-anaknya yang hidup di sekujur tubuhnya. Nafasnya sesak karena emisi yang dihasilkan anak-anaknya memenuhi atmosfernya. Tubuhnya mengering dan kepanasan karena lapisan tabir surya yang meliputi tubuhnya berlubang. Kalau masih ada cinta kepada Ibu Bumi, ibu kita semua, mari kita menjalani diet rendah karbon agar Ibu Bumi tidak makin menderita di akhir hidupnya. Diet rendah karbon bagi kesehatan Ibu Bumi.

go green Indonesia!