Selasa, 13 Oktober 2009

BAWA SAMPAH HARUS BAYAR

Ada yang menarik di lokasi wisata air terjun Erawan, Thailand bagian barat. Yang ditawarkan oleh tempat wisata ini adalah perjalanan menyusuri tepi sungai dan air terjun yang terdiri atas 7 tingkat mulai dari tingkat terbawah. Masing-masing tingkat berketinggian antara 1 hingga 5 meter. Dibanding air terjun Cibeureum atau Grojogan Sewu, sebetulnya curahan air terjun Erawan kalah dahsyat. (Alam Indonesia memang fantastik!) Namun sangat terpelihara keasrian dan keasliannya. Tidak nampak bekas-bekas usaha paksa untuk mengubah jalan setapak supaya mudah ditempuh. Dan hebatnya, meskipun tidak tersedia tempat sempah, tidak ada botol plastik atau kaleng bekas kemasan air minum dan bungkusan bekas snack di sepanjang perjalanan hingga tingkat ketujuh air terjun. Jumlah pengunjung cukup banyak, tidak seperti di air terjun Hin Lat di Koh Samui misalnya. Artinya cukup besar sampah yang dibawa ke air terjun Erawan. Rupanya membawa sampah bukan berarti membuat tempat wisata menjadi tempat sampah!

Dalam perjalanan menjelang tingkat pertama air terjun, ada perhentian bagi wisatawan. Di tempat ini, ada sebuah meja panjang tempat melaporkan bawaan setiap wisatawan. Bawaan ini bisa dititipkan, bisa juga tetap dibawa ke atas. Wisatawan diminta meninggalkan minimal 20 Baht (kira-kira Rp 6.000,-) untuk setiap plastik yang akan dibawa ke atas. Setelah turun, uang ini akan dikembalikan apabila plastik yang tadi dibawa masih ada. Tidak ada pemeriksaan ketat terhadap bawaan. Namun hal ini rupanya cukup menimbulkan rasa malu bagi wisatawan untuk membuang sampahnya di tengah perjalanan. Bawa sampah harus bayar. Hal yang menarik dan sebetulnya cukup mudah dilakukan.

Beberapa hari yang lalu aku menemukan istilah baru : Polluter pays principle. Sebuah aturan yang mengharuskan seseorang membayar untuk tindakan merusak alam yang dilakukannya. Dana yang terkumpul digunakan untuk pemulihan lingkungan.

Hal ini mengingatkanku pada cerita Lily tentang awal mulanya melakukan bisnis pupuk kompos. Dia bertemu dengan temannya yang memiliki peternakan dan harus membayar mahal untuk membuang kotoran yang dihasilkan ternaknya. (Hal ini kemudian mendorongnya untuk memulai bisnis mengolah kotoran itu menjadi pupuk kompos). Hal yang sama, bawa sampah harus bayar. Tapi mengingat budaya premanisme di Indonesia, aku menduga hal tadi bukan penerapan Polluter pays principle.

Rasanya belum ada kebijakan di Indonesia yang menerapkan Polluter pays principle. Saat ini di sebuah milis "hijau" sedang ramai didiskusikan penggunaan kantong plastik untuk belanja. Yang membuat kantong plastik lebih dipilih untuk membawa barang belanjaan adalah tersedianya kantong plastik gratis di setiap toko. Seandainya ada peraturan yang mengharuskan pembayaran yang cukup bermakna nilainya (bukan sekedar biaya produksi) untuk setiap kantong plastik yang diambil, tentu banyak orang akan memilih membawa tas sendiri untuk berbelanja daripada membeli kantong plastik.

Tidak perlu menunggu peraturan yang cukup "hijau". Aku bisa mengatur diri sendiri. Sejak mengetahui efek dahsyat sampah plastik, aku sedikit phobia terhadap plastik. Ada rasa cemas di dalam hati setiap kali berada dalam situasi terpaksa menerima kantong plastik. Aku membiasakan diri membawa tas setiap kali pergi untuk membeli sesuatu agar tidak menerima kantong plastik. Sebisa mungkin, aku menyimpan kantong plastik yang kudapat untuk digunakan kembali. Termasuk kantong yang dipakai untuk membawa udang,ikan dan bahan makananan mentah basah lainnya. Jangan heran bila melihat ada kantong-kantong plastik habis dicuci tergantung di jemuran rumahku. Kantong-kantong plastik ini kusimpan dan kubawa lagi pada saat berbelanja.
Ini adalah kondisi kantong plastik yang kuanggap cukup layak untuk menjadi tempat penampung sampah yang tidak bisa didaur ulang atau dibuat pupuk di keranjang Takakura-ku. Sudah banyak lubang, sehingga perlu diikat dengan karet gelang. Cukup layak untuk membuang sampah rumah tanggaku yang jumlahnya tidak terlalu banyak. 1 kantong untuk 7 hingga 10 hari.


go green Indonesia!