Selasa, 20 April 2010

ZERO WASTE di Kumkum

Hari Minggu kemarin, aku dan balerinaku mampir di Museum Bank Mandiri yang sedang ramai karena ada acara Kumkum. Seperti yang dimuat dalam web yang tautannya dapat diklik di sini,
kumkum adalah sebuah ajang kumpul-kumpul bareng berbagai komunitas, mulai dari blogger, literasi, hobi, astronomi, pencari dana, peduli anak dan peduli lingkungan, sampai pengamen dan anak jalanan.Di sini tiap komunitas bisa saling BERBAGI ide, pemikiran & inisitif untuk kemudian masing-masing dapat BERBUAT hal nyata guna menciptakan sebuah perubahan.

Satu hal unik yang menarik bagiku adalah munculnya beberapa orang dengan rompi terbuat dari spanduk PVC bekas.Bagian yang polos (belakang spanduk)menjadi bagian luar rompi dan bertuliskan JIRO WES. Kostum yang membuat orang tertarik dan bertanya-tanya. Belakangan, baru kutahu makna tulisan tersebut. Ini adalah lafal orang Indonesia untuk slogan ZERO WASTE.

Dalam kenyataannya, acara Kumkum ini memang menerapkan slogan ZERO WASTE. Di beberapa tempat disediakan tempat sampah yang langsung terpilah-pilah antara sampah kertas, sampah plastik, sampah yang dapat dikompos dan sampah yang tidak dapat didaur-ulang. Di setiap kotak tercantum keterangan yang sangat jelas, sehingga siapapun tidak akan ragu-ragu ke mana harus meletakkan sampahnya. Hasilnya memang tidak ada sampah yang berceceran seperti umumnya dijumpai dalam acara-acara yang dihadiri banyak orang. (Aku membandingkannya dengan tempat sampah di sebuah sekolah yang terdiri atas 3 kotak : sampah organik, sampah non-organik dan daur ulang. Sangat membingungkan dan terbukti saat aku mengintip isi kotak sampah non-organik yang berisi kotak styrofoam, kertas bercampur plastik dan nasi sisa. iseng.com...hehehe....)

Menariknya lagi, semua pedagang makanan menyajikan makanannya dengan tempat yang tradisional : piring kaca atau melamin serta sendok garpu logam yang bisa dipakai berulang-ulang atau daun pisang yang bisa dikompos. Tidak ada piring atau kotak berbahan styrofoam maupun plastik. Begitupula sendok garpunya.

Selain itu, jarang peserta pameran yang menyediakan brosur untuk dibagikan ke pengunjung. Bukan pelit informasi. Sebagai gantinya, mereka menyediakan daftar isian bagi pengunjung untuk menuliskan alamat emailnya. Informasi akan dikirimkan melalui email. Umumnya memang brosur-brosur akhirnya hanya menjadi sampah, bahkan seringkali tidak dibaca.

Satu hal unik lagi, di depan tersedia counter yang menerima SAKE dan BABE (=SAMpah KEring dan BArang BEkas). Ini adalah acara ke-sekian yang pernah diselenggarakan dengan menyediakan fasilitas penampungan SAKE dan BABE. Kegiatan yang melatih masyarakat untuk memilah sampah mulai dari rumah untuk mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA.

Yang terakhir, dalam acara ini sama sekali tidak dijumpai produk-produk konsumen yang berasal dari perusahaan-perusahaan besar. Tidak ada spanduk-spanduk sponsor acara. Yang pasti, acara ini tidak meninggalkan sampah spanduk-spanduk sponsor begitu acara selesai.

Ternyata acara dengan peserta dan pengunjung banyak tidak harus menghasilkan banyak sampah. Memang harus ada niat dan usaha keras untuk mempersiapkannya. Bukan hanya panitia yang harus mempersiapkan diri, namun juga peserta dan pengunjung acara harus dipersiapkan dan dikondisikan untuk tidak banyak menghasilkan sampah. Sedikit berangan-angan, seandainya bazaar di gereja dapat diselenggarakan dengan konsep seperti ini....


go green Indonesia!

Jumat, 16 April 2010

MENJADI KONSUMEN ORGANIK, HIDUP BERDAMAI DENGAN ALAM

seperti yang dimuat di website GKI SURYA UTAMA

Saat ini, makanan organik mulai banyak diminati karena alasan kesehatan tubuh. Makanan organik adalah makanan yang dihasilkan oleh pertanian atau peternakan yang tidak menggunakan pestisida, pupuk sintetis, hormon sintetis dan bahan-bahan kimia lain dalam proses produksinya. Dengan demikian produk yang dihasilkanpun bebas dari bahan-bahan kimia. Disadari atau tidak, sesungguhnya pada saat seseorang mengkonsumsi makanan organik, dia terlibat dalam usaha berdamai dengan alam.


Penggunaan pupuk sintetis dan pestisida dalam pertanian untuk meningkatkan produksi pertanian dimulai pada saat Revolusi Hijau sekitar 40 tahun yang lalu. Pertumbuhan jumlah penduduk diikuti oleh peningkatan kebutuhan pangan. Sawah dapat menghasilkan panen 3 hingga 4 kali setahun. Satu masalah teratasi dengan penggunaan pupuk dalam pertanian.

Kemudian muncul masalah baru. Akibat penggenjotan produksi sawah terus menerus tanpa jeda, tanah tidak mempunyai kesempatan untuk memulihkan kondisinya. Tanah tidak dapat menghentikan ketergantungannya pada pupuk sintetis. Masalah lainnya, tanaman padi yang diberi pupuk sintetis ternyata tidak tahan terhadap hama. Selain itu, program intensifikasi pertanian meniadakan produk pertanian lain yang berfungsi sebagai pengontrol hama. Untuk mengatasinya, digunaan pestisida.

Namun ada masalah lagi. Ada perubahan pada ekosistem sawah. Tidak hanya hama tanaman padi yang mati, tetapi juga predator-predator hama padi alamiah. Sementara itu penggunaan pestisida justru melahirkan hama-hama lain yang lebih ganas.

Pengurusan tanah, ketidakseimbangan lingkungan dan penurunan keanekaragaman hayati, ini adalah efek penggunaan pupuk sintetis dan pestisida. Pertanian dengan pupuk sintetis dan pestisida bagaikan berada di pusaran air. Hanya keberanian serta ketekunan yang mampu melepaskan petani keluar dari pusaran ini.

Perlu waktu lama untuk memulihkan kondisi tanah dan lingkungan hidup di sekitarnya saat seorang petani memutuskan untuk beralih menjadi petani organik. Tanah yang terbiasa menerima pupuk sintetis bagaikan pengguna narkoba yang mengalami sakaw saat harus meninggalkan ketergantungannya. Untuk memulihkannya, perlu melewati beberapa kali masa tanam. Penggunaan pupuk kompos sebagai ganti pupuk sintetis menyebabkan produksi padi tidak sebanyak sebelumnya. Bulir padi yang dihasilkan juga tidak sebesar dan sebagus sebelumnya. Ini adalah pengorbanan yang harus dibayar atas kerusakan yang kadung sudah terjadi.

Namun, penggunaan pupuk kompos menggantikan pupuk sintetis perlahan-lahan akan memulihkan kondisi tanah dan lingkungan hidup di sekitarnya. Pada titik ini, manusia berdamai dengan alam. Manusia tidak lagi mengeksploitasi tanah, tapi memberdayakannya. Memberdayakan tanah untuk menghasilkan produk secara wajar dan alamiah .

Pilihan menjadi konsumen makanan organik akan lebih bermakna jika kita menyadari hal ini.


go green Indonesia!

Selasa, 13 April 2010

Nebeng, gaya hidup ramah lingkungan

Seperti yang dimuat pada website GKI Surya Utama

Apa pilihan kendaraan Anda bila ke gereja? Berapa jumlah penumpang kendaraan yang Anda tumpangi bila ke gereja? Tahukah Anda bahwa pada hari Minggu ke-empat setiap bulan, 10 km dari gedung gereja kita, ada lokasi yang sama sekali bebas dari asap knalpot? Hari Minggu ke-empat setiap bulan merupakan “Car Free Day” yang perayaannya dipusatkan di jalur Senayan, Sudirman hingga silang Monas. Perayaan diet karbon dengan menu utama udara bersih, bebas polusi karena tidak satupun kendaraan bermotor melalui jalan tersebut selama 6 jam.

Udara bersih memang perlu dirayakan karena menjadi barang mewah dan langka di kota Jakarta. Lalu, bila hanya 1 hari dalam 1 bulan masyarakat Jakarta dapat merayakan udara bersih, bukan berarti 29 hari sisanya menjadi perayaan gas polutan. Ada usaha yang perlu dilakukan untuk mengurangi emisi gas polutan. Cara termudah adalah mengurangi jumlah kendaraan bermotor. Suatu pilihan yang sangat berat tentunya mengingat mobilitas penduduk Jakarta yang sangat tinggi. Siapa yang harus memulai? Mari kita berhitung dulu.

Jumlah penumpang yang dapat diangkut oleh sebuah bis adalah 72 orang. Jumlah penumpang yang sama memerlukan 60 buah sepeda motor atau 40 buah mobil. Sebuah bis memerlukan tempat seluas 30 meter persegi di jalan, sementara 60 buah sepeda motor memakai tempat seluas 90 meter persegi dan 40 buah mobil memakai tempat seluas 700 meter persegi. Bila emisi yang dihasilkan untuk menempuh 1 kilometer perjalanan diperbandingkan, yang paling “hemat” emisi adalah pengguna bis. Pengendara sepeda motor mengeluarkan emisi 7.5 kali lebih banyak dibanding pengguna bis. Sedangkan pengendara mobil mengelurkan emisi 15 kali lebih banyak.

Berdasarkan data di atas, jelas bis merupakan kendaraan yang paling cocok untuk melakukan diet karbon. Namun bis sangat tidak populer di Jakarta sebagai alat transportasi karena tidak nyaman untuk ditumpangi dan jumlahnya tidak memadai untuk melayani seluruh penduduk Jakarta dan kota-kota satelitnya. Memang ada bis Trans Jakarta, yang “lumayan” nyaman namun mulai menurun juga kualitasnya akhir-akhir ini. Karena itu, kendaraan bermotor pribadi tetap menjadi pilihan sebagian besar masyarakat.

Hingga saat ini, seluruh kendaraan bermotor masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Pilihan kendaraan bermotor pribadi sepertinya menggagalkan program diet karbon. Tapi masih ada peluang untuk berperan serta dalam program diet karbon. Caranya dengan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor pribadi. Pertimbangkan lebih dahulu rencana bepergian untuk menentukan perlu tidaknya membawa kendaraan bermotor.

Kalau jarak yang akan ditempuh tidak terlalu jauh , tidak perlu berkendaraan. Pergi ke pasar atau toko dekat rumah, dapat ditempuh dengan sepeda. Untuk menempuh jarak jauh, selain sepeda yang sekarang mulai populer, angkutan massal juga bisa menjadi pilihan. Tidak semua kondisi angkutan massal separah bis. Ada beberapa pengembang perumahan yang menyediakan angkutan massal bagi penghuninya dengan tujuan-tujuan tertentu. Angkutan-angkutan ini biasanya terawat sehingga nyaman ditumpangi.

Pillihan lain adalah nebeng. Jumlah bahan bakar fosil yang dibakar untuk sebuah mobil dengan penumpang 1 maupun 4 orang adalah sama. Ajak anggota keluarga atau tetangga yang mempunyai tujuan searah. Saat ini ada komunitas nebeng yang komunikasinya difasilitasi oleh situs maya www.nebeng.com dengan jumlah anggota puluhan ribu orang. Komunitas ini menjalin hubungan saling membutuhkan di antara anggotanya. Hubungan antara penebeng dan yang ditebengi bukan lagi sekedar hubungan antara penumpang dan supir. Ada rasa kebersamaan dan ikatan batin di antara mereka. Nebeng bukan hal yang memalukan lagi, tapi menjadi gaya hidup ramah lingkungan.

Jadi, kembali kepada pertanyaan di awal. Apa pilihan kendaraan Anda bila ke gereja? Tidak harus mobil pribadi. Berapa jumlah penumpang kendaraan yang Anda tumpangi bila ke gereja? Manfaatkan setiap tempat duduk agar emisi yang dihasilkan tiap penumpang makin sedikit. Berjalan kaki, bersepeda, atau nebeng….kenapa tidak?



go green Indonesia!