Dalam perjalanan menjelang tingkat pertama air terjun, ada perhentian bagi wisatawan. Di tempat ini, ada sebuah meja panjang tempat melaporkan bawaan setiap wisatawan. Bawaan ini bisa dititipkan, bisa juga tetap dibawa ke atas. Wisatawan diminta meninggalkan minimal 20 Baht (kira-kira Rp 6.000,-) untuk setiap plastik yang akan dibawa ke atas. Setelah turun, uang ini akan dikembalikan apabila plastik yang tadi dibawa masih ada. Tidak ada pemeriksaan ketat terhadap bawaan. Namun hal ini rupanya cukup menimbulkan rasa malu bagi wisatawan untuk membuang sampahnya di tengah perjalanan. Bawa sampah harus bayar. Hal yang menarik dan sebetulnya cukup mudah dilakukan.
Beberapa hari yang lalu aku menemukan istilah baru : Polluter pays principle. Sebuah aturan yang mengharuskan seseorang membayar untuk tindakan merusak alam yang dilakukannya. Dana yang terkumpul digunakan untuk pemulihan lingkungan.
Hal ini mengingatkanku pada cerita Lily tentang awal mulanya melakukan bisnis pupuk kompos. Dia bertemu dengan temannya yang memiliki peternakan dan harus membayar mahal untuk membuang kotoran yang dihasilkan ternaknya. (Hal ini kemudian mendorongnya untuk memulai bisnis mengolah kotoran itu menjadi pupuk kompos). Hal yang sama, bawa sampah harus bayar. Tapi mengingat budaya premanisme di Indonesia, aku menduga hal tadi bukan penerapan Polluter pays principle.
Rasanya belum ada kebijakan di Indonesia yang menerapkan Polluter pays principle. Saat ini di sebuah milis "hijau" sedang ramai didiskusikan penggunaan kantong plastik untuk belanja. Yang membuat kantong plastik lebih dipilih untuk membawa barang belanjaan adalah tersedianya kantong plastik gratis di setiap toko. Seandainya ada peraturan yang mengharuskan pembayaran yang cukup bermakna nilainya (bukan sekedar biaya produksi) untuk setiap kantong plastik yang diambil, tentu banyak orang akan memilih membawa tas sendiri untuk berbelanja daripada membeli kantong plastik.
Tidak perlu menunggu peraturan yang cukup "hijau". Aku bisa mengatur diri sendiri. Sejak mengetahui efek dahsyat sampah plastik, aku sedikit phobia terhadap plastik. Ada rasa cemas di dalam hati setiap kali berada dalam situasi terpaksa menerima kantong plastik. Aku membiasakan diri membawa tas setiap kali pergi untuk membeli sesuatu agar tidak menerima kantong plastik. Sebisa mungkin, aku menyimpan kantong plastik yang kudapat untuk digunakan kembali. Termasuk kantong yang dipakai untuk membawa udang,ikan dan bahan makananan mentah basah lainnya. Jangan heran bila melihat ada kantong-kantong plastik habis dicuci tergantung di jemuran rumahku. Kantong-kantong plastik ini kusimpan dan kubawa lagi pada saat berbelanja.

Dalam soal penanganan sampah organik dan re-using plastik, gw salut banget deh sama elo. Tapi sekaligus sedih, karena banyak sekali orang lain (termasuk gw) yang boros menggunakan plastik. Polluter pays kayaknya baru bisa efektif kalo dipaksa dari atas ya. Soalnya bukan hanya mengenai para pemakai, tapi juga para pebisnis yang menggunakan kantong plastik untuk menarik konsumen dan mengiklankan tokonya.
BalasHapusSemoga rumah tangga elo makin hijau deh ya.
kalo udah tau boros pakai plastik, niatin dong untuk berhemat ;)
BalasHapussetuju...dimulai dr masing2 pribadi, mk akan hijau deh, aku sdr udh mulai berusaha bhemat ktg plastik, dr hal2 kcil, puasss rasanya...
BalasHapus